Buku ini memaparkan konsep konsientisasi pendidikan
gaya Paulo Freire.
Buku ini menjelajahi liku-liku kerangka pemikiran yang sangat mendasar yang menopang teori pendidikan Freire. Uraian mengenai sejarah hidup Freire dan bagaimana gagasan-gagasannya mengkristal merupakan bahan yang menjadi titik tolak semua pembahasan. Karenanya buku ini memiliki faedah yang cukup besar untuk menguak kebusukan yang menjalar dalam metodologi pembelajaran yang dijalankan saat ini.
Dapat kita lihat keadaan pendidikan saat ini, begitu mengenaskan. Betapa tidak dapat di tolelir lagi saat korupsi juga tengah dilakukan terhadap pengadaan sarana pendidikan. Mereka dengan rela membodohi rakyat untuk mempertebal kantongnya sendiri. Guru sebagai aktor pendidikan yang perannya tak tergantikan terkungkung dalam keadaannya yang tertindas struktur sosial dan politik yang membelenggu hak-haknya. Bahkan ada yang sampai mengatakan bahwa guru kita kini bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa melainkan pahlawan yang tak berharga. Bahkan bagi sebagian besar kita, pendidikan adalah jalan menuju ijasah, prestise dan kerja.
Sistem pendidikan di Indonesia saat ini kacau balau. Berkali-kali kurikulum diganti, berkali-kali pula kebijakan pendidikan di perbaharui. Bukan membuat pendidikan di Indonesia semakin baik malah membuatnya semakin terpuruk. Pendidikan yang dirancang oleh pemegang kebijakan adalah pendidikan yang memakan biaya yang mahal. Bukan hanya rekonstruksi metodologi pendidikan yang kita butuhkan akan tetapi bagaimana merombak pola pikir para pengambil kebijakannya. Padahal Freire tak bosan-bosannya mengingatkan yang lebih penting: bahwa pendidikan adalah alat perlawanan!! Karena hakikat dari pendidikan adalah membebaskan manusia. Pendidikan harus mengambil posisi kritis terhadap tatanan sosial yang berkeadilan.
Freire juga membalikkan pandangan kita tentang guru dan murid. Baginya, pendidikan tidaklah netral tetapi selalu mengandung muatan politik. Misalkan dalam sebuah tesisnya yang terkenal, Freire menyebut, “setiap kebudayaan, lingkungan sosial dan ekonomi, guru dan murid selalu mengambil posisi tertentu, entah si penindas atau tertindas”.
Buku ini menjelajahi liku-liku kerangka pemikiran yang sangat mendasar yang menopang teori pendidikan Freire. Uraian mengenai sejarah hidup Freire dan bagaimana gagasan-gagasannya mengkristal merupakan bahan yang menjadi titik tolak semua pembahasan. Karenanya buku ini memiliki faedah yang cukup besar untuk menguak kebusukan yang menjalar dalam metodologi pembelajaran yang dijalankan saat ini.
Dapat kita lihat keadaan pendidikan saat ini, begitu mengenaskan. Betapa tidak dapat di tolelir lagi saat korupsi juga tengah dilakukan terhadap pengadaan sarana pendidikan. Mereka dengan rela membodohi rakyat untuk mempertebal kantongnya sendiri. Guru sebagai aktor pendidikan yang perannya tak tergantikan terkungkung dalam keadaannya yang tertindas struktur sosial dan politik yang membelenggu hak-haknya. Bahkan ada yang sampai mengatakan bahwa guru kita kini bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa melainkan pahlawan yang tak berharga. Bahkan bagi sebagian besar kita, pendidikan adalah jalan menuju ijasah, prestise dan kerja.
Sistem pendidikan di Indonesia saat ini kacau balau. Berkali-kali kurikulum diganti, berkali-kali pula kebijakan pendidikan di perbaharui. Bukan membuat pendidikan di Indonesia semakin baik malah membuatnya semakin terpuruk. Pendidikan yang dirancang oleh pemegang kebijakan adalah pendidikan yang memakan biaya yang mahal. Bukan hanya rekonstruksi metodologi pendidikan yang kita butuhkan akan tetapi bagaimana merombak pola pikir para pengambil kebijakannya. Padahal Freire tak bosan-bosannya mengingatkan yang lebih penting: bahwa pendidikan adalah alat perlawanan!! Karena hakikat dari pendidikan adalah membebaskan manusia. Pendidikan harus mengambil posisi kritis terhadap tatanan sosial yang berkeadilan.
Freire juga membalikkan pandangan kita tentang guru dan murid. Baginya, pendidikan tidaklah netral tetapi selalu mengandung muatan politik. Misalkan dalam sebuah tesisnya yang terkenal, Freire menyebut, “setiap kebudayaan, lingkungan sosial dan ekonomi, guru dan murid selalu mengambil posisi tertentu, entah si penindas atau tertindas”.