'Saya nggak punya bakat bisnis.'
'Sudah nggak ada peluang usaha yang tersisa.'
'Bikin usaha? Modalnya dari mana?'
'Sudah nggak ada peluang usaha yang tersisa.'
'Bikin usaha? Modalnya dari mana?'
Itulah alasan-alasan yang kerap menahan orang melangkahkan kaki ke dunia
usaha. dan akan dipatahkan oleh buku ini. Selain memberikan contoh
pengalaman berwirausaha Penulis sejak usia SD. buku ini juga membekali
Anda dengan:
+ strategi menembus pasar.
+ kiat mengenali dan memanfaatkan tren
+ sumber-sumber modal usaha.
+ penyebab kegagalan berwirausaha.
+ nasihat penting dalam menjalankan usaha.
+ contoh-contoh bidang usaha. dan
+ alamat usaha dengan sistem franchise serta pusat perkulakan terlengkap dan termurah.
Setelah membaca buku ini. Anda pun bisa dengan lantang berseru. 'Jadi Pengusaha. Siapa Takut?'
'Buku ini ringan tapi padat berisi dan sangat tepat bagi calon
wirausaha. baik yang ingin pindah kuadran dari pegawai maupun yang
memang ingin langsung terjun ke dunia bisnis. Buku ini memuat dengan
cukup lengkap batas hambatan
Itulah alasan-alasan yang kerap menahan orang melangkahkan kaki ke dunia usaha. dan akan dipatahkan... embangun usaha sendiri, Virtual Consulting. Saat itu memang banyak
eksekutif puncak yang meninggalkan posisi nyamannya untuk memasuki lahan
baru yang berisiko.
Tulisan itu saya baca ulang. Dan sepertinya masih layak dibaca saat
ini. Saya bagi di blog ini, siapa tahu bermanfaat untuk yang ingin
menjadi pengusaha.
“Pertaruhan terbesar dalam hidup adalah ketika saya memutuskan menjadi wirausahawan?”
Itulah sebaris kalimat yang berkecamuk di benak seorang eksekutif
perusahaan ketika memutuskan pindah kuadran menjadi wirausahawan
(entrepreneur).
Berlebihan? Tidak. Bertahun-tahun membangun karier di jalur
profesional, merintis dari posisi terendah hingga mampu menembus level
direksi, membuat sebagian besar kita merasakan nyamannya posisi ini
sehingga enggan melepaskannya. Gaji dan tunjangan yang berkecukupan.
Jaringan bisnis yang terbangun lumayan luas. Nama besar yang mengikuti
jabatan di perusahaan terpandang.
Siapa yang mau kehilangan sederetan kenikmatan langka itu untuk
memasuki dunia baru yang penuh tantangan? Dunia yang penuh risiko — bisa
meludeskan modal yang kita tabung bertahun-tahun dan memudarkan nama
kita yang sebelumnya lumayan terpandang.
Johannes Kotjo dan Judiono Tosin, misalnya, amat mengilat karier dan
namanya sebagai eksekutif puncak Grup Salim pada tahun 1980-an. Ketika
keluar dari konglomerasi terbesar Indonesia yang masih dikomandoi Om
Liem saat itu danmembangun bisnis sendiri, mereka sempat menjadi ikon
eksekutif yang berani pindah kuadran. Namun, tak berapa lama nama dan
bisnis mereka pudar.
Meski demikian, dunia kewirausahaan sepertinya tak mengenal trauma.
Ada saja eksekutif yang berani terjun ke dunia usaha. Ira Koesno,
presenter kondang SCTV, seperti ditulis dalam Sajian Utama SWA, berani
melangkah ke dunia itu. Begitu pula kawula muda lain yang sebelumnya
memiliki posisi lumayan bagus di perusahaan tempat mereka bekerja
sebelumnya. Saya sendiri setelah berolah pikir cukup lama akhirnya
berani meninggalkan posisi direktur di Agrakom dan
Detikcom
— portal nomor wahid yang menjadi fenomena bisnis Internet di Indonesia
karena mampu menjadi yang terbesar, baik dari sisi pengakses maupun
iklan yang berhasil didulang di dunia maya.
Langkah para eksekutif muda (umur 30-40 tahun) memasuki dunia
wirausaha saya lihat sebagai langkah unik jika melihat tingkat
retensinya. Bagi mereka yang sejak lahir sudah tercetak menjadi
wirausahawan karena keturunan, seperti para pedagang, serta pebisnis
warung Tegal dan Padang, dunia usaha bukanlah hal yang aneh. Biasanya
mereka menerjuni bisnis ini sejak kecil dengan membantu orang tua atau
kerabatnya. Di kemudian hari mengambil alih atau mengembangkan bisnis
serupa di tempat lain. Tipe ini nyaris tidak memerlukan pendidikan
tinggi dan tidak memiliki retensi untuk menjadi wirausahawan.
Agak berbeda kasusnya dengan mereka yang mengecap pendidikan hingga
perguruan tinggi. Kebanyakan dari lulusan universitas cenderung menjadi
eksekutif perusahaan. Hanya segelintir yang berani langsung membuka
usaha sendiri begitu selesai wisuda.
Orang yang terbiasa menjadi eksekutif biasanya memiliki retensi besar
untuk membangun usaha mandiri. Mereka yang sukses di jalur ini
kebanyakan setia pada jalurnya. Jadi, kalau memang ada segelintir yang
berani pindah jalur, ini layak dicatat.
Mereka yang pindah kuadran ini di atas kertas sebenarnya memiliki
peluang sukses cukup besar. Alasan utamanya, mereka yang pernah
mencicipi posisi eksekutif puncak pasti sudah terlatih jiwa
kewirausahaannya di dalam perusahaan
(intrapreneurship).
Pekerjaan manajerial memang tergolong penghindar dan penekan risiko
(risk aversive and risk minimalist).
Namun, semakin tinggi posisi manajerial seseorang, semakin pekat
pekerjaan yang berbau wirausaha, yang bersifat menentang risiko
(risk taker).
Tanggung jawab manajemen puncak untuk membuka pasar baru, membuat
produk baru, membuka unit bisnis baru, serta meningkatkan pendapatan dan
laba perusahaan adalah tanggung jawab yang pekat dengan jiwa
kewirausahaan. Artinya, jiwa kewirausahaan mereka sudah terasah.
Alasan lain, nama mereka sudah cukup terpandang dan jaringan
bisnisnya sudah lumayan luas sesuai dengan kehebatan perusahaan yang
dikelolanya. Ini bisa menjadi modal awal yang sangat bagus untuk
membangun bisnis baru.
Namun, yang indah di atas kertas memang lain dari di dunia nyata.
Dengan wadah usaha baru, jalan untuk menembus proyek dan mendapatkan
revenue
jadi semakin berat. Memangnya mudah kita mengikuti tender betulan
dengan perusahaan seumur jagung yang minim portofolio bisnis? Pengalaman
profesional yang jika ditulis bisa berlembar-lembar ternyata tidak bisa
begitu saja ditransfer dalam bisnis baru. Wirausahawan baru pun, dalam
hal modal, memiliki banyak keterbatasan. Apalagi, perusahaan baru yang
dirintis wirausahawan baru biasanya tidak/kurang
bankable.
Apa boleh buat, wirausahawan yang baru pindah kuadran akan pusing tujuh keliling ketika
cash flow perusahaan kacau-balau. Hal ini kurang dirasakan ketika bekerja sebagai eksekutif karena berbagai
resource
— termasuk keuangan — disediakan pemilik perusahaan. Itulah tantangan
dunia usaha. Seorang wirausahawan bukan hanya pintar memanfaatkan
peluang, tetapi juga dituntut untuk piawai memanfaatkan berbagai
resource, termasuk keuangan, sumber daya manusia dan teknologi, setelah
berhasil menangkap peluang.
Eksekutif yang pindah kuadran menjadi wirausahawan sama saja dengan
ikan yang pindah kolam. Ia akan mabuk sesaat. Ia membutuhkan waktu untuk
adaptasi. Sebagian akan mati. Saya sendiri sudah menyaksikan beberapa
rekan yang pindah kuadran dengan optimisme tinggi, tapi setahun kemudian
ambruk. Namun, yang lolos seleksi berpotensi menjadi wirausahawan yang
tangguh. Rekan saya, misalnya, kini menjadi wirausahawan yang memiliki
tower seluler begitu banyak di Indonesia. Seorang rekan lain mampu
membuat usaha ekspor mebel dan mengelola 600-an karyawan.
Mereka yang lolos seleksi dan tumbuh sehat akan mendapatkan
pemandangan yang jauh lebih indah. Persis seperti anak-anak kura-kura
yang baru menetas di pinggir pantai dan berebut masuk ke laut. Ada yang
mati dimakan binatang lain atau manusia. Namun, yang berhasil masuk ke
laut akan tumbuh dan berkelana, menyaksikan indahnya lautan luas,
warna-warni terumbu karang, indahnya tarian beraneka ragam ikan, dan
kemudian beranak-pinak. Itulah indahnya jika sukses di dunia usaha.
Patut disyukuri jika banyak kawula muda yang berani pindah kuadran
menjadi wirausahawan.
Menjadi wirausaha, siapa takut?